Sistem Parlemen Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.

Sekilas tentang Sistem Bikameral

Di beberapa Negara sampai dengan akhir 1990-an tiga dari empat parlemen di dunia adalah bicameral. Kecenderungan beberapa decade terakhir, parlemen bicameral lebih banyak menarik minat dari Negara-negara yang baru merdeka. Bahkan dalam catatan Ball dan petters kebanyakan parlemen modern menerapkan sistem dua kamar. Bahkan di tahun 1996 Arendt Lijphard dari 36 negara yang di observasi berkait dengan pola-pola demokrasi, hanya 13 negara yang anikameral dan sisanya 23 negara menerapkan parleman bicameral.

Konsepsi sistem bicameralism sendiri dikemukakan oleh Geovani sartori yang membagi sistem parlemen bicameral itu menjadi tiga jenis yaitu :

  1. Sistem bicameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya.
  2. Sistem bicameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila kekuatan antara dua kamar nyaris sama kuat; dan
  3. Perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan antara kedua kamarnya betul-betul seimbang.

Weak bicameralism sendiri sebaiknya dihindari karena akan menghilnagkan tujuan bicameral itu sendiri, yaitu sifat saling control diantara kedua kamarnya. Artinya, dominasi salah satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanya menjadi bentuk lain dari sistem parlemen satu kamar. Di sisi lain perfect bicameralism bukan pula pilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu seimbang antara kedua kamar memang seakan melancarkan fungsi control antara kamar di parlemen, namun sebenarnya juga berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Yang menjadi pilihan, karenanya adalah sistem strong bicameralism. Terkait dengan sistem parlemen bicameral tersebut R. Hogue dan Martin Harrop mengemukakan bahwa “the main justication for having two (or occasionally more) chamber within an assembly ar firs, to present distinct interes within society and secondly to provide checks and balances within the legislative branch”. Pembenaran yang paling utama kenapa perlu ada dua kamar dalam satu rumah (parlemen) adalah pertama, menegaskan perbedaan kepentingan dalam masyarakat dan kedua untuk memastikan adanya mekanisme check and balances dalam cabang kekuasaan legislative. Sartori mengemukakan bahwa contoh bicameralism ideal seperti yang terjadi di amerika serikat. Keberadaan hause of representatives-nya berbagai kewenangan dan saling control dengan senate untuk melaksanakan fungsi parlemen tetapi tidak sampai saling menjegal. Unsure kongresnyapun terjaga dengan memadukan antara sistem kepartaian di house of Representatif dan representasi Negara bagian di Senate.

Sistem parlemen Indonesia dirumuskan dalam amandemen ke tiga. Dalam pembahasan amandemen ketiga UUD 1945 yang merupakan bagian dari usaha menyempurnakan konstitusi Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan penyempurnaan lembaga legislative terjadi tarik menarik antara dua kutub di MPR, satu kutub bersemangat untuk membentuk sistem strong bicameralism, sedangkan kubu yang lain menolak pembentukan sistem bicameral, alias berkehendak terus mempertahankan sistem unicameral. Bagi kubu strong bicameralism, mereka berpendapat bahwa sistem unicameral yang menempatkan MPR sebagai lembaga parlemen yang super menimbulkan pemusatan kekuasaan yang anti demokrasi, dan merupakan salah satu pendorong utama bagi hadirnya MPR yang mudah direkayasa Presiden Soeharto guna melanggengkan kekuasaannya. Sebaliknya, bagi kelompok yang menolak sistem bicameralism mendasarkan argumennya bahwa sistem parlemen bicameral akan mengarahkan Indonesia menuju Negara fedral, salah satu konsep yang tabu yang harus dihindari.

Kompromi diantara dua kubu di MPR 1999-2004 itulah yang melahirkan sistem yang bukan unicameral dan tetapi bukan pula bicameral. Para ahli berbeda pendapat tentang parlemen Indonesia pascaamandemen UUD 1945. Ada yang berargumen bahwa parlemen Indonesia adalah bicameral yang lemah (weak bekameralism),, namun ada pula yang mengatakan Indonesia bukanlah parlemen bicameral melainkan trikameral. Saldi Isra misalnya berpandangan bahwa dengan adanya kewenangan yang masih dimiliki MPR, disamping kewenangan konstitusional yang dimiliki DPD dan DPR, maka sebenarnya Indonesia menganut sistem parlemen tiga kamar. Bahkan pak jimly mengatakan bahwa kalau melihat kewenangan DPD, maka DPD semacam Dewan Pertimbangannya DPR. Ada juga pandangan bahwa sistem parlemen Indonesia adalah sistem parlemen yang unicameral yang bercirikan bicameral seperi apa yang dikemukakan oleh Ni’matul Huda.

Kompromi politik tersebut kembali meneguhkan sistem yang bukan-bukan: Neither meat nor fish. Kalaupun DPD pada akhirnya disetujui oleh kubu penolak yang dipelopori oleh PDI Perjuangan, itu karena kewenangan DPD pada ujungnya sengaja dikompromikan dan didesain antara ada dan tiada.

Dibandingkan dengan DPR kewenangan DPD amat minimalis, baik dari sisi institusional maupun personal. Di sisi institusional DPR adalah pemegang mandate legislasi bersama-sama dengan presiden; mempunyai fungsi pengawasan; dan mempunyai fungsi budgeting. Di sisi lain, DPD hanya merupakan merupakan “lembaga pemberi pertimbangan Agung” kepada DPR ke dalam ketiga fungsi institusional DPR tersebut. Lebih jauh berbeda dengan DPR yang diproteksi keberadaannya dari kemungkinan dibubarkan oleh presiden (pasal 7C UUD 1945), maka DPD tidak mempunyai proteksi konstitusional demikian.

Tidak hanya rentan secara institusional, DPD juga lemah secara personal. Bila anggota-anggota DPR dilindungi dengan hak imunitas, maka anggota DPD tidak mempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitas bagi anggota DPD baru hadir dalam UU susunan dan kedudukan DPR, DPD, dan DPRD. Lebih jauh, hak-hak lain yang dimiliki anggota DPR semuanya dijamin dalam UUD 1945, sedangkan hak-hak anggota DPD hanya diatur dalam UU susduk. Perbedaan hirarki peraturan tersebut secara nyata mengggambarkan inferiornya DPD di hadapan DPR. Kalaupun DPD itu berhak mengusulkan RUU ke DPR namun itu semua tergantung itikad baik dari DPR apakah akan menindaklanjuti atau tidak. Fakta bahwa prolegnas itu disusun secara sewenang-wenang oleh DPR tanpa melibatkan DPD, sebanyak 27 RUU usulan DPD tidak tercantum dalam prolegnas menjadi bukti bahwa itikad dari DPR mengesampingkan DPD dalam parlemen sangatlah jelas, yang akhirnya menjadikan keberadaan DPD sama dengan ketidakberadaanya.

Kekerdilan kewenangan DPD tersebut menghilangkan fungsi kehadiran DPD sebagai fungsi internal control parlemen. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sartori diawal tulisan ini bahwa two eyes are better than one eye. Artinya dua kamarseharusnya mempunyai fungsi saling control saling imbang. Bahkan peneliti dari Australian Nations Univercity Stephen Sherlock mengatakan bahwa DPD merupakan contoh tidak lazim dalam praktek bicameral sebab meskipun punya legitimasi kuat, kewenangannya amatlah terbatas.

Sistem Parlemen Kedepan. Kejelasan sistem parlemen Indonesia kedepan harus lebih tegas. Pemilihan anggota DPD yang secara distrik harus disinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan dengan daerah, sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan saja, tetapi turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolos atau tidaknya RRU terkait dengan Daerah.

Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan structural, terutama berhubungan dengan proteksi institusional dan personal DPD. Proteksi institusional adalah menegaskan bahwa sebagaimana DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden, maka demikian pula dengan DPD. Sedangkan proteksi personal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPD yang saat ini ada dari tingkat UU ketingkat konstitusi. Disamping tentu juga mendesain bagaimana DPD menjadi efektif menjadi jembatan aspirasi local kedaerahan misalnya dengan membangun kantor di daerah-daerah yang menjadi tempat dimana DPD berkantor dan menampung aspirasi untuk kemudian di integrasikan ke dalam program pembangunan nasional. Akhirnya dengan penguatan tersebut dapat menyembbuhkan DPD yang saat ini terkena busung lapar, perut buncitnya menandakan harapan dan legitimasi yang kuat dari rakyat, namun disisi yang lain dia kekurangan vitamin dengan kewenangan yang dimiliki begitu kecil. Penguatan yang dikemukakan diatas semoga menjadi “obat” yang dapat menyembuhkan DPD dari penyakit tersebut.

 

jalan-jalan ke purawisata

untuk sekedar membeli nasi

alangkah senang hati saya

menjadi fasilitator malam ini.

Telaah Kritis atas re eksistensi Tap MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011

Dalam melihat persoalan dimasukannya ketetapan MPR dalam hirarki perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 tahun 2011 dapat dilihat dari dua pendekatan :

  1. Historical approach.

Dianutnya prinsip hirarki perundang-undangan di Indonesia itu dimulai sejak tahun 1966 dengan ditetapkannya Tap MPRs Nomor XX/MPRS/1966 kemudian mengalami perubahan dalam ketetapan MPR nomer III/MPR/2000 yang keduanya mengakomodir TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan, kemudian direvisi dengan UU Nomor 10 tahun 2004 yang mengeluarkan TAP MPR dalam hirarki perundang-undangan dan UU No. 10 tahun 2004 itu dirubah dengan undang-undang no 12 tahun 2011. Dianutnya prinsip hirarki perundang-undangan tsb didasari oleh teori stufenbau des recht yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang kemudian dikuatkan oleh muridnya Hans Nawiasky. Dalam konsepsi hirarki perundang-undangan yang berlaku di banyak Negara, tidak pernah ditemukan ketetapan majelis dari masing2 negara yang menganut sistem hirarki of law masuk dalam tata urutan perundang-undangan terkecuali Indonesia.

Dalam ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 dan Tap MPR No. III/MPR/2000 mengakomodir ketetapan MPR dalam tata urutan perundng-undangan. Hal tersebut berudah dengan diterbitknnya UU No. 10 tahun 2004 yang menghilangkan ketetapan MPR dalam tata urutan perundang-undangan yang itu didasarkan atas penguatan sistem ketatanegaraan Indonesia, dan perubahan konsepsi distribution of power ke separation of power, juga termasuk adanya kekhawatiran akan terulangnya baying-bayang kelam masa lalu terjadi kembali dalam kehidupan Indonesia pasca reformasi. (selanjutnya bisa dibaca risalah pembahasan Amandemen UUD keempat). Tetapi dengan terbitnya UU no nomer 12 tahun 2011 yang kemudian mengakomodir kembali TAP MPR kedalam hirarki perundang-undangan menimbulkan pembahasn hangat dalam kehidupan ketatanegaraan.

  1. Statute Approach.

Sebagai Negara hukum yang terilhami dari pemikiran aristoteles yang mengatakan Negara yang baik adalah Negara yang diperintah oleh konstitusi ada baiknya melihatnya dari asspek konstitusi. Pasca amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002 terjadi penyempurnaan dalam konstitusi Indonesia termasuk perubahan yang berkaitan dengan MPR. Pengaturan tentang MPR diatur dalam BAB II dengan dua Pasal yakni pasal 2 dan 3 yang masing-masing terdiri dari 3 ayat. Secara lebih khusus kewenangan dalam konteks ketetapan MPR hanya diatur dalam pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD”.

Terkait dengan dimasukannya kembali ketetapan MPR dalam hirarki perundang-undangan klau menggunakan rasio legis terhadap kewenangan yang dibrikan oleh konstitusi menjadi tidak masalah ketika ketetapan tersebut hanya terkait dengan kewenangan mengubah dan menetapkan UUD 1945. Adapun yang menjadi menarik untuk telaah adalah argumentasi hadirnya kalimat “ketetapan MPR” dalam hirarki perundang-undangan ketika itu dikarenakan hanya untuk mempertahankan kembali dan memberikan kekuatan hukum mengikat akan adanya ketetapan MPR yang mengatur tentang proteksi terhadap Negara dari paham komunis yang dikhawatirkan akan terjadinya disintegrasi bangsa yang menurut saya sebetulnya tidak harus dipaksakan dipertahankan dalam TAP MPR namun bisa dijadikan UU yang memiliki kekuatan mengikat.

Terkait dengan dimasukannya Ketetapan MPR dalam hirarki perundang-undangan menurut saya perlu dipertimbangkan kembali secara matang dan kalau perlu dikeluarkan dalam hirarki perundang-undangan, dikarenakan akan mengacaukan tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia, dan hal ini pun akan berpotensi terulangnya sejarah kelam Indonesia dimana lembaga MPR dengan kewenangannya dalam membuat ketetapan MPR itu dijadikan alat penguasa dalam melanggengkan kekuasaan yang akhirnya akan mencederai sistem ketatanegaraan kita yang meski masih memiliki kekurangan tetapi setidaknya telah mengalami perbaikan yang positif. Dalam konteks itu pula klau kita merunut tata urutannya yang menempatkan TAP MPR dibawah UUD dan diatas UU/perpu maka akan mengacaukan kewenangan MK yang selama ini sudah bagus dalam melakukan tugasnya yang diantaranya pengujian UU terhadap UUD (Judicial Review). kekhawatiran ketika adanya ketetapan MPR yang dinilai inkonstitusional maka MK tidak dapat melakukan uji TAP MPR terhadap UUD sebab dalam UU MK tidak diatur kewenangan terhadap pengujian TAP MPR terhadap UUD. Akhirnya hal tersebut akan mencederai eksistensi MK sebagai the Guardian of constitution yang selama ini telah menjalankan tugasnya dengan cukup baik meski ada beberapa poin yang perlu dikritisi terkait dengan tugas yang telah dijalankan oleh MK, namun hal tsb tidak mengurangi apresiasi terhadap kontribusi positif MK dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia sebagai Negara Hukum.

Aku Mau Denganmu

Lihat langkah ku dan perhatikan
Semua menuju kearah mu
Suka duka yang terjadi
Hanya dirimu yang ku pilih

Memilih atau terpilih dengan kata
“Aku hanya mau denganmu”
Bukan dengan ucapan belaka
Bukan dengan cinta yang terpaksa

Kenangan memijar dalam semalam
Kenangan indah saat bersama
Sikap mu bagai hujan
Menyisahkan banyak genangan cinta

Ragaku disini hatiku di kamu
Kamu yang membaca isyarat
Kuharap cintaku ini tanpa syarat

Aku mau denganmu
Aku mau bermanja di kala senja
Denganmu, aku mewarnai cinta

siklus polibius dan realitas indonesia

Polibius adalah tokoh yang lahir d zaman romawi kuno. Meskipun di zaman ini jarang lahir pemikir tentang ilmu negara, dan banyak yang meragukan keaslian pemikiran dari tokoh tokoh di zaman romawi karena terkesan pemikiran mereka mirip dengan pemikiran tokoh yunani kuno, sebut saja socrates, plato, aristoteles, epicurus, dan zeno. Namun bagi saya ada yang menarik dengan pandangan polibius yang sekarang dikenal dengan siklus polibius.

Menurut polibiusm ada siklus yang akan dialami oleh negara. Bentuk negara tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Monarki;

2. Tiran

3. Aristokrasi

4. Oligarkis

5. Demokrasi

6. Okhlokrasi

menurut polibius bentuk negara tertua adalah bentuk negara monarki, bentuk negara yang dipimpin oleh orang yang kuat dan berani dan menyelenggarakan urusan negara dengan baik. Ketika monarki tidak berjalan dengan baik lagi, dimana pemimpin itu berkuasa mutlak dan otoriter, maka bentuk negara itu berubah menjadi bentuk negara tirani. Dalam kondisi negara yang seperti itu, maka muncul para cerdik pandai yang ingin melakukan perubahan terhadap negara tersebut. Dan kekuasaan itu beralih kepda para cerdik pandai yang menyelenggarakan urusan negara dengan berpedoman pada nilai kedilan. Bentuk negara itu lama kelamaan akan mengalami fase kemunduran, dimana para pemimpin yang cerdik pandai itu mulai tergoda dengan kekuasaan dan orientasi kepemimpinannya adlah memperkaya diri sendiri dan golongan. Dalam kondisi yang demikian negara tersebut mulai bergeser pada bentuk negara oligarkis. Dalam bentuk negara tersebut rakyat mulai merasa kecewa dan akhirnya timbul perlawanan menumbangkan kekuasaan negara, sampai akhirnya kekuasaan dapat direbut oleh rakyat. Dalam kondisi tersebut, maka bentuk negara berubah menjadi negara demokratis. Akan tetapi, euforia demokrasi menimbulkan kebebasan yang over, setiap rakyat ingin melakukan segala sesuatu tanpa batasan dan rule,. Dalam konteks pemerintahan dan negara, semua orang bisa meraihnya dan mendudukinya tanpa ada ukuran kompetensi dan kualifikasi yang baku. Akhirnya negara itu mulai dipimpin oleh orang orang yang tidak paham dan mengerti tentang negara dan pemeriintahan.

Dalam konteka keindonesiaan, demokrasi sudah dinikmati sejak tahun 1998 pasca reformasi berhasil menumbangkan rezim soeharto, akan tetapi 16 tahun berlalu, kita belum merasakan hasil dari demkrasi yg kita jalankan. Kita terjebak pada euforia demokrasi yang berlarut, kita terjebak pada bayang masa lalu, sehingga kita tidak ingin melibatkan konsep dan orang orang yang pernah berada pada pemerintahan masa lalu. Bagai kita memotong generasi pra 98. Akhirnya dengan euforia yang berlebihan, kebebasan tanpa batas yang diagungkan membuat saya menjadi khawatir kita secara perlahan dan tidak sadar sedang memasuki bentuk negara yg oleh polibius disebut sebagai bentuk negara okhlokrasi, sebuah negara yang dipimpin oleh orang orang yg tidak paham dan mengerti pemerintahan dan negara. Negara diselenggarakan tanpa hukum, kalaulah ada hukum tapi hanyalah semacam redaksi mati. Hanya tertulis resmi dalam dokumen negara, tapi tidak diterapkan dalam kehidupan bernegara. @maribersamamerenung