Sekilas tentang Sistem Bikameral
Di beberapa Negara sampai dengan akhir 1990-an tiga dari empat parlemen di dunia adalah bicameral. Kecenderungan beberapa decade terakhir, parlemen bicameral lebih banyak menarik minat dari Negara-negara yang baru merdeka. Bahkan dalam catatan Ball dan petters kebanyakan parlemen modern menerapkan sistem dua kamar. Bahkan di tahun 1996 Arendt Lijphard dari 36 negara yang di observasi berkait dengan pola-pola demokrasi, hanya 13 negara yang anikameral dan sisanya 23 negara menerapkan parleman bicameral.
Konsepsi sistem bicameralism sendiri dikemukakan oleh Geovani sartori yang membagi sistem parlemen bicameral itu menjadi tiga jenis yaitu :
- Sistem bicameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya.
- Sistem bicameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila kekuatan antara dua kamar nyaris sama kuat; dan
- Perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan antara kedua kamarnya betul-betul seimbang.
Weak bicameralism sendiri sebaiknya dihindari karena akan menghilnagkan tujuan bicameral itu sendiri, yaitu sifat saling control diantara kedua kamarnya. Artinya, dominasi salah satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanya menjadi bentuk lain dari sistem parlemen satu kamar. Di sisi lain perfect bicameralism bukan pula pilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu seimbang antara kedua kamar memang seakan melancarkan fungsi control antara kamar di parlemen, namun sebenarnya juga berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Yang menjadi pilihan, karenanya adalah sistem strong bicameralism. Terkait dengan sistem parlemen bicameral tersebut R. Hogue dan Martin Harrop mengemukakan bahwa “the main justication for having two (or occasionally more) chamber within an assembly ar firs, to present distinct interes within society and secondly to provide checks and balances within the legislative branch”. Pembenaran yang paling utama kenapa perlu ada dua kamar dalam satu rumah (parlemen) adalah pertama, menegaskan perbedaan kepentingan dalam masyarakat dan kedua untuk memastikan adanya mekanisme check and balances dalam cabang kekuasaan legislative. Sartori mengemukakan bahwa contoh bicameralism ideal seperti yang terjadi di amerika serikat. Keberadaan hause of representatives-nya berbagai kewenangan dan saling control dengan senate untuk melaksanakan fungsi parlemen tetapi tidak sampai saling menjegal. Unsure kongresnyapun terjaga dengan memadukan antara sistem kepartaian di house of Representatif dan representasi Negara bagian di Senate.
Sistem parlemen Indonesia dirumuskan dalam amandemen ke tiga. Dalam pembahasan amandemen ketiga UUD 1945 yang merupakan bagian dari usaha menyempurnakan konstitusi Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan penyempurnaan lembaga legislative terjadi tarik menarik antara dua kutub di MPR, satu kutub bersemangat untuk membentuk sistem strong bicameralism, sedangkan kubu yang lain menolak pembentukan sistem bicameral, alias berkehendak terus mempertahankan sistem unicameral. Bagi kubu strong bicameralism, mereka berpendapat bahwa sistem unicameral yang menempatkan MPR sebagai lembaga parlemen yang super menimbulkan pemusatan kekuasaan yang anti demokrasi, dan merupakan salah satu pendorong utama bagi hadirnya MPR yang mudah direkayasa Presiden Soeharto guna melanggengkan kekuasaannya. Sebaliknya, bagi kelompok yang menolak sistem bicameralism mendasarkan argumennya bahwa sistem parlemen bicameral akan mengarahkan Indonesia menuju Negara fedral, salah satu konsep yang tabu yang harus dihindari.
Kompromi diantara dua kubu di MPR 1999-2004 itulah yang melahirkan sistem yang bukan unicameral dan tetapi bukan pula bicameral. Para ahli berbeda pendapat tentang parlemen Indonesia pascaamandemen UUD 1945. Ada yang berargumen bahwa parlemen Indonesia adalah bicameral yang lemah (weak bekameralism),, namun ada pula yang mengatakan Indonesia bukanlah parlemen bicameral melainkan trikameral. Saldi Isra misalnya berpandangan bahwa dengan adanya kewenangan yang masih dimiliki MPR, disamping kewenangan konstitusional yang dimiliki DPD dan DPR, maka sebenarnya Indonesia menganut sistem parlemen tiga kamar. Bahkan pak jimly mengatakan bahwa kalau melihat kewenangan DPD, maka DPD semacam Dewan Pertimbangannya DPR. Ada juga pandangan bahwa sistem parlemen Indonesia adalah sistem parlemen yang unicameral yang bercirikan bicameral seperi apa yang dikemukakan oleh Ni’matul Huda.
Kompromi politik tersebut kembali meneguhkan sistem yang bukan-bukan: Neither meat nor fish. Kalaupun DPD pada akhirnya disetujui oleh kubu penolak yang dipelopori oleh PDI Perjuangan, itu karena kewenangan DPD pada ujungnya sengaja dikompromikan dan didesain antara ada dan tiada.
Dibandingkan dengan DPR kewenangan DPD amat minimalis, baik dari sisi institusional maupun personal. Di sisi institusional DPR adalah pemegang mandate legislasi bersama-sama dengan presiden; mempunyai fungsi pengawasan; dan mempunyai fungsi budgeting. Di sisi lain, DPD hanya merupakan merupakan “lembaga pemberi pertimbangan Agung” kepada DPR ke dalam ketiga fungsi institusional DPR tersebut. Lebih jauh berbeda dengan DPR yang diproteksi keberadaannya dari kemungkinan dibubarkan oleh presiden (pasal 7C UUD 1945), maka DPD tidak mempunyai proteksi konstitusional demikian.
Tidak hanya rentan secara institusional, DPD juga lemah secara personal. Bila anggota-anggota DPR dilindungi dengan hak imunitas, maka anggota DPD tidak mempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitas bagi anggota DPD baru hadir dalam UU susunan dan kedudukan DPR, DPD, dan DPRD. Lebih jauh, hak-hak lain yang dimiliki anggota DPR semuanya dijamin dalam UUD 1945, sedangkan hak-hak anggota DPD hanya diatur dalam UU susduk. Perbedaan hirarki peraturan tersebut secara nyata mengggambarkan inferiornya DPD di hadapan DPR. Kalaupun DPD itu berhak mengusulkan RUU ke DPR namun itu semua tergantung itikad baik dari DPR apakah akan menindaklanjuti atau tidak. Fakta bahwa prolegnas itu disusun secara sewenang-wenang oleh DPR tanpa melibatkan DPD, sebanyak 27 RUU usulan DPD tidak tercantum dalam prolegnas menjadi bukti bahwa itikad dari DPR mengesampingkan DPD dalam parlemen sangatlah jelas, yang akhirnya menjadikan keberadaan DPD sama dengan ketidakberadaanya.
Kekerdilan kewenangan DPD tersebut menghilangkan fungsi kehadiran DPD sebagai fungsi internal control parlemen. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sartori diawal tulisan ini bahwa two eyes are better than one eye. Artinya dua kamarseharusnya mempunyai fungsi saling control saling imbang. Bahkan peneliti dari Australian Nations Univercity Stephen Sherlock mengatakan bahwa DPD merupakan contoh tidak lazim dalam praktek bicameral sebab meskipun punya legitimasi kuat, kewenangannya amatlah terbatas.
Sistem Parlemen Kedepan. Kejelasan sistem parlemen Indonesia kedepan harus lebih tegas. Pemilihan anggota DPD yang secara distrik harus disinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan dengan daerah, sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan saja, tetapi turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolos atau tidaknya RRU terkait dengan Daerah.
Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan structural, terutama berhubungan dengan proteksi institusional dan personal DPD. Proteksi institusional adalah menegaskan bahwa sebagaimana DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden, maka demikian pula dengan DPD. Sedangkan proteksi personal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPD yang saat ini ada dari tingkat UU ketingkat konstitusi. Disamping tentu juga mendesain bagaimana DPD menjadi efektif menjadi jembatan aspirasi local kedaerahan misalnya dengan membangun kantor di daerah-daerah yang menjadi tempat dimana DPD berkantor dan menampung aspirasi untuk kemudian di integrasikan ke dalam program pembangunan nasional. Akhirnya dengan penguatan tersebut dapat menyembbuhkan DPD yang saat ini terkena busung lapar, perut buncitnya menandakan harapan dan legitimasi yang kuat dari rakyat, namun disisi yang lain dia kekurangan vitamin dengan kewenangan yang dimiliki begitu kecil. Penguatan yang dikemukakan diatas semoga menjadi “obat” yang dapat menyembuhkan DPD dari penyakit tersebut.
jalan-jalan ke purawisata
untuk sekedar membeli nasi
alangkah senang hati saya
menjadi fasilitator malam ini.